Catatan  Perjalanan
Kenangan  Masa Kecil

Hidup tak  ubahnya seperti air. Bergerak mengalir dari hulu, berproses, 
menuju  muara. Begitupun perjalanan hidup H.Tarmadji Boedi Harsono, S.E. Siswa  kinasih R.M. Imam Koesoepangat (peletak dasar reformasi ajaran  Persaudaraan Setia Hati Terate ) ini, layaknya sebagai manusia lumrah  telah berproses melewati perjalanan waktu liku-liku dalamnya. Atas  proses serta bimbingan langsung dari RM. Imam Koesoepangat itu pulalah,  akhirnya akhirnya mencapai puncak tataran ilmu Setia Hati dan dan  dipercaya menjadi Ketua Umum Pusat empat periode berturut-turut sejak,  sejak tahun 1981 hingga tahun 2000. H.Tarmadji Boedi Harsono, S.E, lahir  di Madiun, Februari 1946. Ia merupakan anak sulung dari enam  bersaudara, dari keluarga sederhana dengan tingkat perekonomian  pas-pasan. Ayahnya, Suratman, hanyalah seorang pegawai di Departemen  Transmigrasi, sedangkan ibunya, Hj. Tunik hanya sebagai ibu rumah  tangga. Dari latar belakang keluarga ini, dia pun melewati masa kecil  penuh kesederhanaan. Namun ketika Tarmadji Boedi Harsono beranjak  dewasa, kekurangan ini justru melahirkan semangat juang tinggi dalam  merubah nasib, hingga dia berhasil menjadi seorang tokoh cukup  diperhitungkan. Sosok tokoh yang tidak saja diperhitungkan di sisi  harkat dan martabatnya, akan tetapi juga berhasil menyeruak kepermukaan  dan mampu mengenyam kehidupan cukup layak dan wajar. 
Masa kecil  H.Tarmadji Boedi Harsono,S.E, sendiri berjalan biasa-biasa saja, laiknya  seorang bocah. Di kalangan teman sepermainannnya, dia dikenal sebagai  anak pemberani dan nakal. Bahkan sejak duduk di bangku kelas 3 SD  Panggung Madiun, Tarmadi (demikian dia punya nama kecil) sudah berani  berkelahi di luar. Kenakalannnya berlanjut hingga ia masuk SMP. Bahkan  ketika duduk di SMU I Madiun, ia pernah diancam akan dikeluarkan dari  sekolah jika tetap senang berkelahi. 
Yang agak  berbeda dibanding teman seusia adalah, kesukaan dia bermain dengan teman  yang usianya jauh lebih tua. Barangkali karena kesukaannya ini, kelak  menjadikan cara berpikir Tarmadji Boedi Harsono cepat kelihatan dewasa. 
Masuk  Persaudaraan Setia Hati Terate 
Tarmadji  Boedi Harsono mulai tertarik pada olah kanuragan (beladiri), saat  berusia 12 tahun. Ceritanya, saat itu, tahun 1958, di halaman Rumah  Dinas Walikota Madiun digelar pertandingan seni beladiri pencak silat  (sekarang pemainan ganda). Satu tradisi tahunan yang selalu diadakan  untuk menyambut hari proklamasi kemerdekaan. Tarmadji kecil sempat kagum  pada permainan para pendekar yang tanpil di panggung. Terutama R.M Imam  Koesoepangat, yang tampil saat itu dan keluar sebagai juara. 
Sepulang  melihat gelar permainan seni bela diri beladiri pencat silat itu,  benaknya dipenuhi obsesi keperkasaan para pendekar yang tampil di  gelangggang. Ia bermimipi dalam cita rasa dan kekaguman jiwa  kanak-kanak. Cita rasa dan kekaguman itu, menyulut keinginan dia belajar  pencak agar agar menjadi pendekar perkasa. Sosok pendekar sakti  sekaligus juara, persis seperti yang tergambar dalam benaknya. 
Kebetulan  tidak jauh dari rumahnya, tepatnya di Paviliun Kabupaten Madiun (rumah  keluarga R.M. Koesoepangat, terletak bersebelahan dengan Pendopo  Kabupaten Madiun) ada latihan pencak silat Persaudaraan Setia Hati  Terate. Pelatihnya adalah R.M. Imam Koesoepangat. Selang sepekan sejak  menonton permainan seni pencak silat di halaman Rumah Dinas Walikota  itu, Tarmadji Boedi Harsono memberanikan diri menemui R.M Imam  Koesoepangat, meminta agar diperbolehkan ikut latihan ikut latihan.  Namun, permintaan itu ditolak dengan alasan usianya masih terlalu muda. 
Saat itu,  ada tata tertib, yang boleh mengikuti latihan Persausaraan Setia Hati  Terate adalah anak dengan usia 17 tahun ke atas (sudah dewasa). Atau  anak yang sudah duduk di bangku SLTA . Ia baru diperbolehkan ikut  latihan pada tahun berikutnya, yakni tahun 1959. Kebetulan adik mas  Imam, R.M. Abdullah Koesnowidjojo (mas gegot), juga ngotot ingin ikut  latihan. Untuk menemani, Tarmadji, akhirnya diperbolehkan ikut latihan,  dengan syarat, harus menempati baris paling belakang, bersama-sama  dengan Mas Gegot. 
Kesempatan pertama yang diberikan  padanya, benar, tak disia-siakan. Hari-hari setelah diizinkan ikut  latihan, boleh dibilang, dipenuhi gerak dan langkah Persaudaraan Setia  Hati Terate. Apalagi jadwal latihan saat itu belum terformat seperti  sekarang ini. Kadang siang hari, sepulang R.M. Imam Koesoepangat dari  pekerjaannya. Tidak jarang, ia berlatih di malam hari hingga waktu  fajar. Satu hal yang cukup mendukung proses latihaimya adalah kedekatan  tempat tinggalnya dengan Pavilium. Ini karena rumah keluarga Tarmadji  hanya terpaut sekitar 200 meter arah barat dari Paviliun. Terlebih, R.M.  Abdullah Koesnowidjojo sendiri merupakan teman akrabnya. Hampir setiap  hari, ia bermain di Pavilium dan setiap pukul 13.00 WIB, ia dan R.M.  Abdullah Koesnowidjojo, telah menunggu kepulangan Mas Imam (panggilan  akrab R.M. Imam Koesoepangat) di beranda Pavilium. Begitu melihat Mas  Imam pulang, ia langsung menyalaminya dan bersabar menunggu sang pelatih  makan siang. Kadang harus bersabar pula menunggu cukup lama, karena Mas  Imam perlu istirahat selepas kerja. 
Berhari-hari,  berbulan bahkan bertahun, ketekunan dan kesabaran serupa itu  dilakukannya. Obsesinya hanya satu, ia ingin menjadi pendekar  Persaudaraan Setia Hati Terate. Seorang pendekar yang tidak saja  menguasai ilmu beladiri, tapi juga mengerti hakikat kehidupan. la ingin  tampil menjadi sosok manusia seutuhnya. Manusia yang cukup  diperhitungkan, menjadi teladan bagi sesama. Dan,jalan itu kini mulai  terbuka. Tarmadji Boedi Harsono tidak ingin menyia-nyiakannya 
Ketekunan  dan kemauan kerasnya itu, menjadikan R.M. Imam Koesoepangat menaruh  perhatian penuh padanya. Perhatian itu ditunjukkan dengan seringnya dia  diajak mendampingi beliau melakukan tirakatan ke berbagai tempat,  kendati saat itu masih siswa dan belum disyahkan. 
Dari  Paviliun ini, Tarmadji Boedi Harsono kecil, selain belajar pencak silat,  juga mulai menyerap ajaran tatakrama pergaulan dalam lingkup kaum  ningrat. Satu tatanan pergaulan kelompok bangsawan trah kadipaten pada  zamannya. Pergaulannya dengan R.M. Imam Koesoepangat ini, membuka  cakrawala baru baginya. Tarmadji yang lahir dan berangkat dari keluarga  awam, sedikit demi sedikit mulai belajar tatakrama rutinitas hidup kaum  bangsawan. Dari tatakrama bertegur sapa dengan orang yang usianya lebih  tua, bertamu, makan, minum. hingga ke hal-hal yang berbau ritual,  misalnya olahrasa (latihan mempertajam daya cipta) atau laku tirakat.  Dalam istilah lebih ritual lagi, sering disebut sebagai tapa brata, di  samping tetap tekun belajar olah kanuragan. 
Salah satu  pesan yang selalu ditekankan R.M. Imam Koesoepangat setiap kali mengajak  dia melakukan tirakatan adalah; "Jika kamu ingin hidup bahagia, kamu  harus rajin melakukan tirakat. Disiplin mengendalikan dirimu sendiri dan  jangan hanya mengejar kesenangan hidup. Nek sing mokgoleki senenge,  bakal ketemu sengsarana. Kosokbaline, nek sing mokgoleki sengsarane,  bakal ketemu senenge (Jika kamu hanya mengejar kesenangan kamu akan  terjerumus ke lembah kesengsaraan. Sebaliknya jika kamu rajin berlatih,  mengendalikan hawa nafsu tirakatan, kelak kamu akan menemukan  kebahagiaan). Ingat, Sepira gedhening sengsara, yen tinampa amung dadi  coba (Seberat apa pun kesengsaraan yang kamu jalani, jika diterima  dengan lapang dada, akan membuahkan hikmah). 
Berangkat  dari Pavilum ini pula, dia mulai mengenal tokoh Persaudaraan Setia Hati  Terate, seperti Soetomo Mangkoedjojo, Badini, Salyo (Yogyakarta).  Murtadji (Solo), Sudardjo (Porong) dan Harsono (putra Ki HadjarHardjo  Oetomo -pendiri PSHT), Koentjoro, Margono, Drs. Isayo (ketiganya tinggal  di Surabaya, serta Niti (Malang). Di samping mulai akrab dengan sesama  siswa Persaudaraan Setia Hati Terate. Di antaranya, Soedibjo (sekarang  tinggal di Palembang), Sumarsono (Madiun), Bambang Tunggul Wulung (putra  Soetomo Mangkoedjojo, kini tinggal di Semarang), Sudiro (alm), Sudarso  (alm), Bibit Soekadi (alm) dan R.M. Abdullah Koesnowidjojo (alm). 
Suatu malam,  tepatnya sepekan sebelum dia disyahkan, Soetomo Mangkoedjojo datang ke  rumahnya. Padahal saat itu malam sudah larut dan ia sendiri mulai  beranjak tidur. Mendengar suara ketukan di pintu, ia pun bangkit,  membukakan pintu. la sempat kaget saat mengetahui yang datang adalah  tokoh Persaudaraan Setia Hati Terate. Namun ketika dipersilakan masuk,  Soetomo Mangkoedjojo menolaknya dan hanya berpesan," Dik, persaudaraan  nang SH Terate, nek ana sedulure teko, mbuh iku awan apa bengi, bukakno  lawang sing amba. Mengko awakmu bakal entuk hikmahe, " (Dik,  Persaudaraan di Setia Hati Terate itu, jika ada saudara datang, entah  itu siang atau malam, bukakan pintu lebar-lebar. Nanti, engkau bakal  mendapatkan hikmah.)" 
Pesan dari  tokoh peletak dasar organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate itu,  hingga di hari tuanya,seolah-olah terus terngiang dalam benaknnya. Pesan  itu pulalah yang menjadikan dirinya setiap saat selalu bersedia  membukakan pintu bagi warga Persaudaraan Setia Hati Terate yang  bertandang ke rumahnya di Jl. MT. Haryono 80 Madiun, hingga saat ini. 
Setelah  berlatih selama lima tahun, yakni pada tahun 1963, Tarmadji Boedi  Harsono disyahkan menjadi Pendekar Persaudaraan Setia Hati Terate  Tingkat I, bersama-sama Soediro,Soedarso, Bibit Soekadi, Soemarsono,  Soedibjo, Bambang Tunggul Wulung dan R.M Abdullah Koesnowidjojo. 
Turun ke  Gelangang 
Keberhasilan Tarmadji Boedi Harsono  meraih gelar Pendekar Tingkat I, tidak menjadikan dirinya besar kepala.  la justru menerima anugerah tersebut dengan rasa syukur dan tetap  tawakal. la berprinsip, keberhasilan itu barulah awal dari perjalanannya  di dunia ilmu kanuragan. Masih banyak hal yang harus dipelajarinya.  Dan, itu hanya bisa dilakukan jika ia tetap tekun berlatih dan belajar.  Pilihannya sudah bulat. Maknanya, ia pun harus mampu melanjutkan  perjalanan hingga ke titik akhir. 
Pada tahun  1961, Tarmadji mulai masuk ke gelanggang pendulangan medali pencak silat  dan berhasil meraih juara I dalam permainan ganda tingkat kanak-kanak  se Jawa Timur, berpasangan dengan Abdullah Koesnowidjojo. Sukses itu,  diulang lagi tahun 1963. Di tahun yang sama, sebenamya Tarmadji  berkeinginan turun ke pertandingan adu bebas di Madiun, akan tetapi Mas  Imam melarang. la sempat menangis karena dilarang ikut bertanding. Tahun  1966, pasangan Tarmadji dan RB. Wijono kembali ikut kejuaraan yang sama  di Jatim. Namun ia sombong sebelum bertanding. Meremehkan lawan.  Akibatnya, gagal mempertahankan juara dan hanya berhasil merebut juara  II. Kesombongan berbuah kehancuran. Kegagalan mempertahankan gelar ini,  menjadikan dirinya malu berat dan tidak mau mengambil tropi kejuaraan. 
Kasus serupa  terulang lagi pada tahun 1968, saat mengikuti kejuaraan di Jember.  Padahal sebelum berangkat Mas Imam sudah memperingatkan agar ia tidak  usah ikut karena kurang persiapan. Namun Tarmadji nekat berangkat. Dan,  hasilnya adalah kekalahan yang menyedihkan, karena hanya berhasil  menjadi Juara harapan. 
Kegagalan  demi kegagalan mempertahankan gelar juara, menjadikan Tarmadji sadar  bahwa sombong dan meremehkan lawan hanya akan menuai kekalahan. Untuk  itu ia musti berlatih lagi. Pempersiapkan diri sebelum bertanding.  Hasilnya, ia kembali mampu merebut juara I di Pra PON VII, Surabaya. Di  PON VII, ia meraih juara III. 
Pengalaman  bertanding di gelanggang ini merupakan bekal Tarmadji melatih altet pada  tahun-tahun tujuh puluhan. Bahkan pada tahun 1978, ia memberanikan diri  menerjunkan altet ke gelanggang pertandingan, kendati Mas Imam, kurang  sependapat. Dalam kurun waktu 1974-1978, Mas Imam sempat mengambil  kebijakan tidak menurunkan atlet ke gelanggang. Namun pada tahun 1978,  Tarmadji memberanikan diri membawa atlet asuhannya ke gelanggang. la  pula yang berhasil meyakinkan Mas Imam, bahwa Persaudaraan Setia Hati  Terate masih tetap diperhitungkan di gelanggang kejuaraan. Terbukti,  sejumlah atlet asuhannya, berhasil meraih medali kejuaraan. 
Sementara  itu, di luar ketekunannya memperdalam gerak raga, Tarmadji Boedi Harsono  kian khusyuk dalam memperdalam olah rasa. Hubungan dekatnya dengan R.M  Imam Koesoepangat, memberi kesempatan luas pada dirinya untuk  memperdalam Ke-SH-an. Jika dulu, ketika belum disyahkan menjadi pendekar  tingat I, ia hanya diajak mendampingi Mas Imam saat beliau melakukan  tirakatan, sejak disyahkan ia mulai dibimbing untuk melakukan tirakatan  sendiri. Beberapa tatacara dan tatakrama laku ritual mulai diberikan, di  samping bimbingan dalam menghayati jatidiri di tengah-tengah rutinitas  kehidupan ini. 
Di penghujung tahun 1965, setamat  Tarmadji Boedi Harsono dari SMA, semangatnya untuk memperdalam ilmu  Setia Hati kian menggebu. Bahkan di luar perintah R.M Imam Koesoepangat,  ia nekat melakukan tirakat puasa 100 hari dan hanya makan sehari satu  kali.waktu matahari tenggelam (Magrib). Ritual ini ditempuh karena  terdorong semangatnya untuk merubah nasib. la ingin bangkit dari  kemiskinan. la tidak ingin berkutat di papan terendah dalam strata  kehidupan. la ingin diperhitungkan. 
Genap 70  hari ia berpuasa, R.M Imam Koesoepangat memanggilnya. Malam itu, ia  diterima langsung di ruang dalem paliviun. Padahal biasanya Mas Imam  hanya menerimanya di ruang depan atau pendopo. Setelah menyalaminya, Mas  Imam malam itu meminta agar ia menyelesaikan puasanya. Menurut Mas  Imam, jika puasanya itu diteruskan justru akan berakibat fatal."Dik  Madji bisa gila, kalau puasanya diteruskan. Laku itu tidak cocok buat  Dik Madji," ujar Mas Imam. 
"Di samping  itu," lanjut Mas Imam," Dik Madji itu bukan saya dan saya bukan Dik  Madji. Maka, goleko disik sangune urip Dik, lan aja lali golek sangune  pati (carilah bekal hidup lebih dulu dan jangan lupa pula mencari bekal  untuk mati)." 
Kemudian dengan bahasa isyarat  (sanepan) Mas Imam memberikan petunjuk tata cara laku tirakat yang cocok  bagi dirinya. "Api itu musuhnya air, Dik," ujar Mas Imam. Sanepan itu  kemudian diterjemahkan oleh Tarmadji dalam proses perjalanan hidupnya,  hingga suatu ketika ia benar-benar menemukan laku yang sesuai dengan  kepribadiannya. la menyebut, laku tersebut sebagai proses mencari jati  diri atau mengenal diri pribadi. Yakni, ilmu Setia Hati. 
Malam itu  juga, atas nasihat dari R.M Imam Koesoepangat, Tarmadji mengakhiri laku  tirakatnya. Pagi berikutnya, ia mulai keluar rumah dan bergaul dengan  lingkungan seperti hari-hari biasanya. Enam bulan berikutnya, ia mulai  mencoba mencari pekerjaan dan diterima sebagai karyawan honorer pada  Koperasi TNI AD, Korem 081 Dhirotsaha Jaya Madiun. Pekerjaan ini  dijalaninya hingga tahun 1971. 
Pada tahun  1972, ia berpindah kerja di Kantor Bendahara Madiun, namun hanya  bertahan beberapa bulan dan pindah kerja lagi di PT. Gaper Migas Madiun  pada paroh tahun 1973. Setahun kemudian, ia menikah dengan Hj.Siti  Ruwiyatun, setelah dirinya yakin bahwa honor pekerjaannya mampu untuk  membina mahligai rumah tangga. (Dari pemikahannya ini, Tarmadji Boedi  Harsono dikaruniai tiga orang putra. Yakni Dani Primasari  Narendrani,S.E, Bagus Rizki Dinarwan dan Arya Bagus Yoga Satria). 
Di tempat  kerja yang baru ini, tampaknya, Tarmadji menemukan kecocokan. Terbukti,  ia bisa bertahan lama. Bahkan pada tahun 1975 ia ditunjukkan untuk  menjadi semi agen minyak tanah dan diberi keleluasaan untuk memasarkan  sendiri. Berawal dari sini, perekonomian keluarganya mulai kokoh.  Sedikit demi sedikit ia mulai bisa menyisihkan penghasilannya, hingga  pada tahun 1976 berhasil membeli armada tangki minyak tanah sendiri.  Berkat keuletan dan perjuangan panjang tanpa kenal menyerah, pada tahun  1987, Termadji Boedi Harsono diangkat menjadi agen resmi Pertamina.  Dalam perkembangannya, ia bahkan berhasil dipercaya untuk membuka SPBU  (Pom Bensin) di Beringin Ngawi. Bahkan di dunia bisnis migas ini, ia  ditunjuk memegang jabatan sebagai Ketua III, DPD V Hiswana Migas dengan  wilayah kerja Jawa Timur, Bali, NTT dan NTB. 
Tampaknya  dunia wirausaha memang tepat baginya. Ini bisa dilihat lewat  pengembangan sayap usahanya, yang tidak hanya berkutat dibidang  migas,tapi juga merambah ke dunia telekomunikasi dengan mendirikan  sejumlah Wartel (warung telekomunikasi). Malahan di bidang ini, ia  ditunjuk debagai Ketua APWI (Asosiasi Pengusaha Wartel Indonesia) untuk  daerah Madiun dan sekitamya. 
Di sela-sela  kesibukan kerja Tarmadji Boedi Harsono tetap mengembangkan Persaudaraan  Setia Hati Terate. Bahkan, tidak jarang ia rela mengalahkan kepentingan  keluarga dan pekerjaannya demi Persaudaraan Setia Hati Terate.  "Persaudaraan Setia Hati terate adalah darah dagingku. la sudah menjadi  bagian dari hidupku sendiri," tutumya. 
Sementara  itu, kebiasaan nyantrik di kediaman R.M Imam Koesoepangat terus  dijalani. Kepercayaan dan perhatian Mas Imam sendiri setelah ia berhasil  menyelesaikan pelajaran tingkat I, semakin besar. Sampai-sampai kemana  pun Mas Imam pergi, ia selalu diajak mendampinginya. Tahun 1970 ia  disyahkan menjadi pendekar Persaudaraan Setia Hati Terate tingkat II.  Tahun 1971, Tarmadji dipercaya menjadi Ketua Cabang Persaudaraan Setia  Hati Terate Madiun. Jabatan tersebut dijalani hingga tahun 1974. 
Latihan  Tingkat III 
Pada suatu siang, sekitar pukul 11.00  WIB, di Tahun 1978, Tarmadji dipanggil R.M Imam Koesoepangat di rumah  Pak Badini. Orang yang diminta memanggil dia adalah Soebagyo.TA. Tanpa  berpikir dua kali, ia berangkat ke Oro-Oro Ombo, tempat kediaman Pak  Badini. Mas Imam mengutarakan niat, akan membuka latihan tingkat III.  Tarmadji sendiri yang dipilih untuk dilatih sekaligus diangkat dan  disyahkan menjadi Pendekar Tingkat III. 
"Kula  piyambak,Mas? (Saya sendiri,Mas?)" tanya Tarmadji agak kaget. 
"Njih.Dik.  Dik Madji piyambak!, (Ya, Dik. Hanya Dik Tarmadji sendiri!)" jawab Mas  Imam. 
Mendengar jawaban itu, Tarmadji  dengan santun, menolak. la tidak bersedia disyahkan menjadi Pendekar  Tingkat III jika sendirian. "Kula nyuwun rencang. Mas (Saya minta  teman,Mas), "Tarmadji meminta. 
"Nek Dik  Madji nyuwun rencang, sinten? (Kalau Dik Madji minta teman, siapa?)"  tanya Mas Imam. 
Tarmadji saat itu langsung menyebut  nama-nama Pendekar Tingat II seangkatan. Namun Mas Imam menolak dan  bersikukuh tetap hanya akan mengangkat Tarmadji sendiri. Terjadi tarik  ulur. Satu sisi Mas Imam bemiat hanya akan mengangkat dia, namun  Tarmadji tetap minta teman. 
"Sapa Dik,  kancamu?" tanya Mas Imam. Tarmadji menyebut nama Soediro. 
Nama ini pun  semula ditolak. Namun atas desakan dia, akhimya Mas Imam menyetujui  dengan syarat ia harus mau ikut menangung risiko. Dalam pikiran  Tarmadji, apa yang disebut risiko, waktu itu adalah risiko pembiayaan  yang terkait dengan pengadaan persyaratan pengesahan (ubarampe).  Karenanya, ia langsung menyanggupi. 
Hari-hari  berikutnya, Tarmadji dan Soediro, mulai berlatih tingkat III.  Pelaksanaan latihan berjalan lancar. Namun pada saat mereka disyahkan,  sesuatu yang tidak diinginkan terjadi. Sesuatu itu, adalah hal yang di  luar perhitungan akal sehat. Sesuatu yang erat kaitannya dengan misteri  ghaib. Tarmadji tidak pemah menduga bahwa misteri itu akan berbuntut  panjang. Dan, Wallahu a'lam bi ssawab, hanya Allah yang Maha Mengerti.  Temyata dalam perjalan hidup, Soediro lebih dulu dipanggil Yang Kuasa. 
Peristiwa  itu, sungguh, sangat menggetarkan jiwa Tarmadji. Pedih rasanya. Lebih  pedih lagi, saat ia melihat Mas Imam menangis di samping jenazah saudara  seperguruannya itu. Semoga anrwah beliau diterima di sisi-Nya. 
Dipercaya  Memimpin Organisasi 
Keberhasilannya  mempelajari ilmu tertinggi di organisasi tercinta ini, menambah dirinya  kian mantap, kokoh dan semakin diperhitungkan. 
Cantrik  setia R.M Imam Koesoepangat yang di waktu-waktu sebelumnya selalu tampil  di belakang ini, sejak berhasil menyelesaikan puncak pelajaran di  Persaudaraan Setia Hati Terate, mulai diterima dan diperhitungkan di  kalangan tokoh organisasi tercinta. Sejalan dengan kapasitasnya sebagai  Pendekar Tingkat ni, ia mulai dipercaya tampil ke depan dengan membawa  misi organisasi. Tahun 1978 Tarmadji dipilih menjadi Ketua I,  mendampingi Badini sebagai Ketua Umum Persaudaraan Setia Hati Terate.  Puncak kepercayaan itu berhasil diraih pada MUBES Persaudaraan Setia  Hati Terate Tahun 1981. Yakni dengan terpilihnya ia menjadi Ketua Umum  Pusat. 
Setahun setelah Tarmadji Boedi  Harsono memimpin organisasi, sejumlah terobosan yang dimungkinkan bisa  mendukung pengembangan sayap organisasi diluncurkan.Salah satu produk  kebijakan yang dilahirkan adalah pendirian Yayasan Setia Hati Terate  lewat Akta Notaris Dharma Sanjata Sudagung No. 66/1982. Yayasan Setia  Hati Terate merupakan komitmen organisasi untuk andil memberikan nilai  lebih bagi masyarakat, khususnya di sektor ril. Dalam perkembangannya,  di samping berhasil mendirikan Padepokan Persaudaraan Setia Hati Terate  di atas lahan seluas 12.290 m yang beriokasi di Jl. Merak Nambangan  Kidul Kodya Madiun, yayasan ini juga mendirikan dua lembaga pendidikan  formal Sekolah Menengah Umum (SMU) Kususma Terate dan Sekolah Menengah  Industri Pariwisata (SMIP) Kusuma Terate serta lembaga pendidikan  ketrampilan berupa kursus komputer. 
Sedangkan  untuk meningkatkan perekonomian warganya, Tarmadji Boedi Harsono  meluncurkan produk kebijakan dalam bentuk koperasi yang kemudian diberi  nama Koperasi Terate Manunggal. 
Hingga saat  ini, Yayasan Setia Hati Terate telah memiliki sejumlah aset, antara lain  tanah seluas 12.190 m2 yang di atasnya berdiri sarana dan prasarana  phisik seperti: gedung Pendapa Agung Saba Wiratama, gedung Sekretariat  Persaudaraan Setia Hati Terate, gadung PUSDIKLAT (Sasana Kridangga),  gedung pertemuan (Sasana Parapatan), gedung Training Centre (Sasana  Pandadaran), gedung Peristirahatan (Sasana Amongraga), Kantor Yayasan  Setia Hati Terate, gedung SMU dan SMTP Kusuma Terate, gadung Koperasi  Terate Manunggal dan Mushola Sabaqul Khoirot. 
Searah  dengan itu, pergaulannya dengan para tokoh Persaudaraan Setia Hati  Terate pun semakin diperluas. Beberapa tokoh berpengaruh di organisasi  tercinta didatangi. Dari para tokoh yang didatangi itu, ia tidak saja  mampu memperdalam olah gerak dan langkah Persaudaraan Setia Hati Terate,  tapi juga menerima banyak wejangan kerokhanian. Bahkan saat Tarmadji  Boedi Harsono dipercaya untuk memimpi Persaudaraan Setia Hati Terate,  sejumlah tokoh yang dulu pemah dihubunginya itu dengan rela menyerahkan  buku-buku pakem Ke-SH-an yang mereka tulis sendiri 
Wejangan,  baik lisan maupun tulisan, dari para tokoh dan sesepuh ini dikemudian  hari dijadikan bekal dalam memimpin Persaudaraan Setia Hati Terate. Dan  terlepas dari segala kelemahannya, terbukti Tarmadji Boedi Harsono mampu  membawa Persaudaraan Setia Hati Terate menjadi sebuah organisasi yang  cukup diperhitungkan tidak saja di dunia persilatan tapi juga di sektor  lainnya. 
Sementara itu, penggarapan di sektor  ideal dalam bentuk penyebaran ajaran budi luhur lewat Persaudaraan Setia  Hati Terate tetap menjadi prioritas kebijakan. Dan hasilnya pun cukup  melegakan. Terbukti, sejak tampuk pimpinan organisasi di pegang oleh  Tarmadji Boedi Harsono, Persaudaraan Setia Hati Terate yang semula hanya  berkutat di Pulau Jawa, sejengkal demi sejengkal mulai merambah ke  seluruh pelosok tanah air. Bahkan mengembang lagi hingga ke luar negeri.  Tercatat hingga paroh tahun 2000, Persaudaraan Setia Hati Terate telah  memiliki 146 cabang di 16 provinsi di Indonesia, 20 komisariat di  perguruan tinggi dan manca negara dengan jumlah anggota mencapai  1.350.000 orang. 
Yang patut dipertanyakan adalah,  misteri apa berpusar dibalik keberhasilan dia membawa Persaudaraan Setia  Hati Terate ke tingkat yang lebih terhormat dan cukup diperhitungkan.  Jawabnya, temyata ada pada tiga titik inti yang jika ditarik garis lurus  akan membentuk misteri segi tiga. Titik pertama berada di Desa  Pilangbango, Madiun (kediaman Ki Hadjar Hardjo Oetomo - titik lahimya  Persaudaraan Setia Hati Terate), titik kedua berada di Pavilium  Kabupaten Madiun (kediaman R.M Imam Koesoepangat - titik perintisan  Persaudaraan Setia Hati Terate) dan titik ketiga berada di Padepokan  Persaudaraan Setia Hati Terate Jl. Merak Nambangan Kidul Kodya Madiun -  titik H. Tarmadji Boedi Harsono,S.E mengembangkan Persaudaraan Setia  Hati Terate. 
Kiprah di Luar Persaudaraan Setia Hati Terate 
Tampaknya  memang bukan H. Tarmadji Boedi Harsono,S.E, jika ia hanya puas berkutat  dengan prestasi yang dicapai di dalam organisasi Persaudaraan Setia Hati  Terate. Sebagai bagian dari anggota masyarakat, ia pun terbukti tampil  cukup diperhitungkan. Tokoh yang mendapatkan gelar sarjana ekonomi dari  Unmer Madiun ini juga andil di organisasi masyarakat. Bahkan sempat  menduduki sejumlah jabatan cukup strategis hampir di setiap organisasi  yang diikutinya. 
Di sisi lain, kariermya di bidang  politik juga cukup matang. Terbukti ia dipercaya menjadi wakil rakyat  Kodya Madiun (anggota DPRD) hingga dua periode. Masing- masing periode  1987 -1992 dananggotaDPRDKodyaMadiunperiode 1997 - 1999. Puncak prestasi  yang berhasil diraih di bidang politik ini tercipta pada tahun 1998, di  mana H. Tarmadji Boedi Harsono,S.E diberi kepercayaan untuk tampil 1  sebagai salah seorang Calon Wali Kota Madiun 
Sementara  itu, menyadari dirinya adalah seorang muslim, pada tahun 1995 ia bersama  istri tercinta, Siti Ruwiatun berangkat ke tanah suci Mekah Al  Mukaromah menjadi tamu Allah, menunaikan rukun Islam yang kelima, yakni  ibadah haji. Ibadah ini kembali diulang pada tahun 2000. Sepulang  menjalankan ibadah haji, ia dipercaya memimpin IPHI (Ikatan Persaudaraan  Haji Indonesia) Kodya Madiun.
Dikutip dari  : www.shterate.com
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar